sincerity

Pagi itu terasa cukup indah, matahari bersinar terang menghantarkan kehangatan nafas2 kehidupan bagi dunia, dan udara pun tak mau kalah bersahabat seperti matahari, ia pun menghantarkan kesejukan bagi kulit-kulit insan yang sudah kenyang dengan polusi kemunafikan dan polusi dalam arti sebenarnya.
Aku masih terdiam dikelilingi pepohonan yang berada dihadapanku dan manusia-manusi yang lalu lalang dari ballhood menuju stasiun ataupun sebaliknya. Sudah cukup lama aku menanti bikun yang langsung melewati MUI. Sejak tadi hanya bikun yang belok saja yg melintas dihadapanku.
Dalam diamku menanti bikun, aku dikagetkan oleh sesosok tubuh kecil yang tersenyum padaku. Entah ia datang dari mana, tiba-tiba saja ia sudah berada di sisiku. "Kakak mau kemana?" tanya nya padaku dengan senyum keramahan.
"oh aku mau ke MUI mau ketemu teman" jawabku ramah mengimbangi keramahannya.
"kalo kamu mau kemana?" tanyaku kembali.
“Aku mau main basket bareng kakak-kakak disana” balasnya sambil menunjuk arah poltek.
"Wah asik dong, sering y main disana?" lanjutku
"ia" jawabnya sambil tersenyum girang.
Rasa ingin tahuku begitu dalam pada sosok pria kecil ini. Pria yang kuperkirakan berusia 8 atau 9 tahun. Pria yang seharusnya berada disekolah, bukan dijalan pada jam-jam segini. Pria itu mengenakan pakaian yang bisa dibilang lecek dan agak kumal, dengan sepatu cets (bingung nulisnya "tp ngertikan yg kumaksud" :-D) yang sudah cukup usang.
"kamu gak sekolah?" tanya ku.
"dulu aku sekolah kak, sekarang sudah ga’" jawabnya.
" oh (bulat), kelas berapa?" selidik ku
"kelas tiga" jawabnya sekenanya.
Aku hanya tersenyum mendengar jawabannya itu. Karena perkiraan ku. anak ini sepertinya belum pernah merasakan bangku sekolah. Kalau pun sudah maka kemungkinan maksimal ia baru kelas 2 SD. Mungkin jawaban yang ia berikan itu merupakan jawaban yang sering diberikan oleh anak2 usia pra sekolah yang belum pernah mengenal tingkatan kelas. Dan ini lebih membuat rasa ingin tahuku bertambah-tambah. Untuk memenuhi rasa ingin tahuku ini aku pun mengajukan beberapa pertanyaan padanya.
Kebetulan saat itu aku sedang menggunakan tas gemblok warna-warni (orange-merah-putih). Jadilah tas ini sebagai alat ku untuk menyelidiki pria kecil penuh keramahan (aku menyebutnya –dalam hati–). Aku mulai dengan pengenalan warna yang menghiasi tasku. Kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan akan warna-warna tersebut. Beberapa kali kuulangi nama warna-warna tersebut, sambil ia mengikuti apa yang aku ucapkan. Ku tunjuk warna-warna tersebut dan iapun menunjuknya. Sekiranya aku menunjuk merah maka kukatakan merah, kemudian ia mengikuti apa yang aku lakukan. Hal ini ku lakukan berulang-ulang pada ke tiga warna tersebut. Sehingga aku berpikir ini sudah cukup untuk melihat respon yang ia berikan jika aku bertanya warna apakah ini. Tetapi apa yang kudapatkan adalah antara pertanyaan yang kuajukan dengan jawaban yang ia berikan selalu tidak matching. Ini menguatkan hipotesaku bahwasanya ia belum pernah bersekolah. Namun ini juga membuat pertanyaan lain pada diriku. Apakah ia belum pernah sekolah ataukah memang sebenarnya ia seorang yang buta warna? Untuk meredakan rasa penasaranku ini maka aku pun beralih pada huruf-huruf yang menghiasi tasku ini. Hal yang sama aku lakukan seperti halnya pada warna. Namun tetap saja jawaban yang ku dapat hanya menambah keyakinanku bahwasanya ia belum pernah sekolah sebelumnya.
Dalam percakapan kami yang cukup seru menurutku. Dan sepertinya iapun menikmatinya (terlihat dari respon yang ia berikan, cukup antusias). Terlebih lagi saat ia membicarakan basket, Sepertinya ia begitu menyenangi dunia itu, ia sangat bersemangat dan wajahnya dihiasi dengan senyuman yang khas.. Sebuah senyumnya yang berasal dari dalam dirinya begitu tulus, bukan senyum yang dibuat-buat (senyuman kepura-puraan). Dalam kemirisanku akan kurang bisanya ia dalam hal membaca (tidak sekolah) ada sebuah kebahagiaan tersendiri akan apa yg ia lakukan. Diusianya sekarang ini ia sudah bisa menentukan apa yang ia sukai, dan ia melakukannya dengan kesenangan (baca keikhlasan). Pembicaraan semakin hangat saat bikun yang kami nanti, datang. Kami pun bersegera menujunya.
Ternyata bukah hanya kami yang menanti bikun lurus yang kini berada tepat dihadapan kami. (hehehe kalo yang ini hanya sekedar mazas, karena sebenarnya sudah tahu :-D). Dikarenakan banyaknya penumpang yg ingin menaikinya, kami pun dipisahkan oleh pintu masuk. ia mengambil pintu belakang dan aku mengambil pintu depan. Alhamdulillah, akhirnya kami pun berada dalam bikun yang cukup penuh oleh manusia-manusia yang beraktivitas di sekitar ui. Entahlah apa yang membuatnya tetap menghampiriku dalam keadaan yg berdesak-desakan seperti ini. Dengan susah payah ia berjalan ke arahku menerobos kesesakan yang ada.
Kami pun melanjutkan percakapan kami sebelumnya. Perbincangan kami terdengar begitu keras di bikun ini. (masih seputar basket dan kakak-kakak yang sering bermain basket di poltek tentunya). Dan sepertinya hal ini membuat banyak mata yang mengarahkan pandangannya ke arah kami. Bundaran sudah terlewati dan ini berarti aku harus segera bersiap-siap untuk turun. Namun ia masih tetap mengajak berbincang-bincang, sesekali aku ingatkan bahwa aku sebentar lagi akan turun. FH, bikun pun berhenti. Ini berarti aku harus turun, karena jika tidak, maka aku harus rela untuk turun di halte rektorat. Karena terkadang bikun jarang yang berhenti di halte MUI.
Banyak orang yang sudah turun dipemberhentian itu. Aku berkata pada pria kecil ini. “Aku harus turun ya”. Namun sepertinya ia tidak mendengar apa yang aku katakan. Bersamaan dengan itu, dihadapan kami, terdapat seseorang yang besiap-siap untuk turun – kebetulan ia mendapat tempat duduk di bikun ini – sehingga menyebabkan kursi tersebut kosong. Dengan keramahan dan senyumnya yang khas, pria kecil ini berkata “Kakak duduk disini kak, ini buat kakak.” Aku terenyuh disertai kaget yang luar biasa. Ya Allah, subhanallah. sempat-sempatnya ia mempersilakan tempat duduk yang kosong untuk ku padahal jarak nya lebih dekat dibandingan dengan jarak kursi itu padaku. Ternyata ia sibuk memperhatikan sekeliling sehingga menyebabkan ia tak mendengar apa yang aku ucapkan sebelumnya. “terimakasih, kursi itu untukmu saja karena aku harus turun sedangkan kamu masih jauh” jawabku dengan senyuman takjub. “aku turun dulu ya” pamitku. “iya” balasnya tetap dengan senyuman yang khas dan matanya yang berbinar tulus. Berhentinya bikun di FH tidak begitu lama. Dan saat aku telah bersiap-siap turun, bikun telah mulai melaju. Aku pun sudah pasrah akan turun di halte rektorat –padahal janjianku sudah mendekati waktunya– namun tak kusangka pertolongan Allah itu memang dekat. Akupun bisa turun di Halte MUI. Padahal cuma aku yang turun di halte tersebut.
Sosok wajah dengan mata berbinar berhiaskan senyum ketulusan yang tak dapat kulupakan. Thanks God, U sent me a little angle who teaches me sincerity…
Labels: serial cinta kepada sesama
0 Comments:
Post a Comment
<< Home