Mendidik dengan iman

Ternyata hanya dengan nafas cinta saja belum cukup mendidik putra-putri kita menjadi apa yang Allah inginkan. Harus ada landasan utamanya yaitu keimanan (spiritualisme). Mendidik dengan nafas cinta saja hanya akan melahirkan putra-putri yang humanis namun belum tentu beriman. Bukankah yang kita inginkan adalah putra-putri yang beriman pada Allah dan juga penuh kasih sayang pada sesama manusia dan alam sekitarnya?
Hal ini tidak akan terwujud dengan sempurna jika salah satunya (iman dan cinta) dihilangkan. Namun jika keduanya dipadukan dalam pola didik yang kita terapkan maka dasyatnya tujuan penciptaan manusia benar-benar akan terwujud di muka bumi ini. Tidakkah kita perhatikan perpaduan imannya rasulullah dan cintanya mampu mengubah dunia jahiliyah menjadi masyarakat berperadaban? Seperti itulah iman dan cinta jika dipadukan kekuatannya mampu menembus langit dan menghujam ke bumi.
putra-putri kita adalah anak zamannya, maka persiapkanlah mereka dengan perbekalan yang cukup agar tidak termakan zaman. Dan sebaik-baiknya bekal adalah taqwa. Dengan landasan iman yang kokoh dalam hati kita maka pola didik bernafaskan cinta yang kita pilih akan lebih terarah. Visi kita adalah visi langit yang terbahasakan di bumi. Ia akan mampu membentuk putra-putri kita menjadi pribadi dengan integritas moral yang tinggi. Hingga akhirnya membentuk koloni umat terbaik dalam naungan Iman.
Ibunda Hajar adalah contoh yang sempurna dalam pengejauantahan mendidik putranya dengan iman dan bernafaskan cinta. Sebagai orang tua muslim tentu kita sering mendengar kisah beliau ini. Saat beliau dan putranya ismail ditempatkan disebuah lembah yang tidak terdapat tanaman-tanaman, yang tepatnya di dekat Baitul-Haram dan hanya berbekal sedikit korma dan air . Perbekalan yang sedikit ini tidak menggentarkan hati beliau dalam menjalankan perintah Allah ini. Karena sesungguhnya beliau memiliki perbekalan yang lebih dari cukup yaitu perbekalan iman.
Scene yang sangat jelas adalah saat perbekalan dan air yang ada sudah tak bersisa maka dengan nafas cintanya beliau berusaha memberikan yang terbaik untuk putranya. Beliau berlari dari bukit sofa menuju marwa beberapa kali secara bergantian untuk menemukan air agar putranya tidak kehausan. Semangat keimanannya yang tinggi tidak membebaskan beliau untuk berdiam diri saja, melainkan tetap berusaha dalam meraih apa yang beliau perlukan. Dan sebagai balasan atas usaha beliau, Allah pun menganugerahkan air zam-zam yang keluar didekat telapak kaki ismail.
Dikarenakan anugerah air ini lah maka terdapat kabilah pengembara yang meminta izin kepada beliau untuk boleh singgah bahkan menetap dilembah tersebut. Sebagai seorang ibu yang memiliki visi langit, beliau pun memberikan izin kepada kaum tersebut untuk menetap di lembah tersebut. Sebuah keputusan yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki visi jauh kedepan. Beliau sadar bahwa dalam perkembangan ismail kecil memerlukan lingkungan yang mampu menempanya menjadi pribadi yang berintegritas. Sebuah lingkungan yang bersinergi dengan landasan keimanan yang dimiliknya dan nafas cinta yang ada dalam hidupnya. Karena beliau yakiin ismail kecil ini pun kelak akan menjadi nabi seperti ayahnya Ibrahim. Dan hasilnya dapat terlihat dari jawaban Ismail atas perkataan Ibrahim berikut ini :
1 Mei 2008
Hal ini tidak akan terwujud dengan sempurna jika salah satunya (iman dan cinta) dihilangkan. Namun jika keduanya dipadukan dalam pola didik yang kita terapkan maka dasyatnya tujuan penciptaan manusia benar-benar akan terwujud di muka bumi ini. Tidakkah kita perhatikan perpaduan imannya rasulullah dan cintanya mampu mengubah dunia jahiliyah menjadi masyarakat berperadaban? Seperti itulah iman dan cinta jika dipadukan kekuatannya mampu menembus langit dan menghujam ke bumi.
putra-putri kita adalah anak zamannya, maka persiapkanlah mereka dengan perbekalan yang cukup agar tidak termakan zaman. Dan sebaik-baiknya bekal adalah taqwa. Dengan landasan iman yang kokoh dalam hati kita maka pola didik bernafaskan cinta yang kita pilih akan lebih terarah. Visi kita adalah visi langit yang terbahasakan di bumi. Ia akan mampu membentuk putra-putri kita menjadi pribadi dengan integritas moral yang tinggi. Hingga akhirnya membentuk koloni umat terbaik dalam naungan Iman.
Ibunda Hajar adalah contoh yang sempurna dalam pengejauantahan mendidik putranya dengan iman dan bernafaskan cinta. Sebagai orang tua muslim tentu kita sering mendengar kisah beliau ini. Saat beliau dan putranya ismail ditempatkan disebuah lembah yang tidak terdapat tanaman-tanaman, yang tepatnya di dekat Baitul-Haram dan hanya berbekal sedikit korma dan air . Perbekalan yang sedikit ini tidak menggentarkan hati beliau dalam menjalankan perintah Allah ini. Karena sesungguhnya beliau memiliki perbekalan yang lebih dari cukup yaitu perbekalan iman.
Scene yang sangat jelas adalah saat perbekalan dan air yang ada sudah tak bersisa maka dengan nafas cintanya beliau berusaha memberikan yang terbaik untuk putranya. Beliau berlari dari bukit sofa menuju marwa beberapa kali secara bergantian untuk menemukan air agar putranya tidak kehausan. Semangat keimanannya yang tinggi tidak membebaskan beliau untuk berdiam diri saja, melainkan tetap berusaha dalam meraih apa yang beliau perlukan. Dan sebagai balasan atas usaha beliau, Allah pun menganugerahkan air zam-zam yang keluar didekat telapak kaki ismail.
Dikarenakan anugerah air ini lah maka terdapat kabilah pengembara yang meminta izin kepada beliau untuk boleh singgah bahkan menetap dilembah tersebut. Sebagai seorang ibu yang memiliki visi langit, beliau pun memberikan izin kepada kaum tersebut untuk menetap di lembah tersebut. Sebuah keputusan yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki visi jauh kedepan. Beliau sadar bahwa dalam perkembangan ismail kecil memerlukan lingkungan yang mampu menempanya menjadi pribadi yang berintegritas. Sebuah lingkungan yang bersinergi dengan landasan keimanan yang dimiliknya dan nafas cinta yang ada dalam hidupnya. Karena beliau yakiin ismail kecil ini pun kelak akan menjadi nabi seperti ayahnya Ibrahim. Dan hasilnya dapat terlihat dari jawaban Ismail atas perkataan Ibrahim berikut ini :
Maka ketika anak itu sampai (pada umurnya) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata,"Wahai anakku! sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu! Dia (Ismail) menjawab, "wahai ayahku! lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) padamu; insyaAllah engkau akan mendapatkanku termasuk orang yang sabar." QS As-Saffat : 102
1 Mei 2008
Labels: Parenting
0 Comments:
Post a Comment
<< Home